Maman berdiri di pinggir alun-alun kecil, matanya memandang ke arah panggung di tengah yang dibangun tergesa. Di sekelilingnya, bangunan-bangunan sederhana berdiri, sebagian dari bata merah yang belum diplester, sebagian lagi hanya rumah-rumah kayu yang mulai lapuk dimakan waktu. Kota ini, yang umurnya belum seberapa, lebih mirip desa yang tumbuh kebingungan. Jalan-jalannya sempit, kadang hanya dilapisi tanah dan kerikil. Di beberapa sudut, lahan pertanian masih tersisa, tapi perlahan digeser oleh rencana pembangunan yang entah kapan dimulai.
Hari itu, udara terasa lengket dan berat. Tidak ada angin, hanya panas yang memantul dari jalanan tanah. Penduduk berkumpul di sekitar panggung, mengibarkan bendera kecil dengan warna-warna partai. Wajah-wajah mereka tampak lelah, namun dipaksa tersenyum, seolah mereka percaya pada kata-kata yang sebentar lagi akan menghujani telinga mereka. Di atas panggung, para calon pemimpin tersenyum, siap menyampaikan janji-janji tentang kemajuan, infrastruktur, dan lapangan kerja.
Maman berdiri agak jauh, di bawah pohon besar yang jarang-jarang daunnya, berusaha berteduh dari terik matahari. Di sebelahnya, Rahmat sedang duduk di kursi plastik, merokok. Mereka berdua menyaksikan keramaian tanpa banyak bicara, terbenam dalam pikiran masing-masing.
“Man,” Rahmat memecah keheningan. “Kau pernah merasa kita cuma penonton dalam semua ini?”
Maman mengangkat bahu. “Penonton, pemain figuran, apapun itu. Yang jelas, kita bukanlah yang menulis skenarionya.”
Rahmat menghembuskan asap rokok. “Tapi kata orang-orang, ini kesempatan kita. Pilkada. Suara kita bisa mengubah masa depan.”
Maman mendengus, suara getir keluar bersamaan dengan helaan napas panjang. “Masa depan apa? Kota ini lahir baru 20 tahun yang lalu. Waktu itu kita dijanjikan akan ada pabrik besar, pusat perbelanjaan, gedung-gedung megah. Sekarang? Lihat sekeliling kita, Mat. Ini masih kota yang sama dengan lima tahun lalu. Ladang yang tersisa malah kian sempit, pabrik tak pernah datang, dan orang-orang pergi ke kota besar hanya untuk bekerja jadi buruh.”
Rahmat tertawa kecil, tapi bukan tawa bahagia. “Iya, mungkin benar juga. Tapi orang-orang ini masih berharap, lihat saja bagaimana mereka semangat di sini. Mungkin ada secuil kepercayaan yang tersisa di hati mereka.”
Maman diam sejenak, memandang wajah-wajah di kerumunan yang mulai riuh. Mereka semua adalah tetangga, teman masa kecil, orang-orang yang ia kenal namanya. Mereka mungkin masih menyimpan harapan bahwa perubahan bisa datang lewat pilkada ini. Namun bagi Maman, semua janji itu terasa ringan, tak berakar, hanya berputar-putar di udara kering.
“Kau tahu, Mat,” kata Maman akhirnya, “Janji-janji itu seperti debu. Mereka berputar di sekitar kita, tapi tak pernah benar-benar menyentuh tanah. Kita terus menunggu, tapi tak ada yang benar-benar terjadi.”
Rahmat menatap Maman dengan pandangan penuh pemahaman. “Tapi tetap, kita harus memilih, kan? Hanya itu yang bisa kita lakukan.”
Maman mengangguk pelan. “Kita memilih, bukan karena kita percaya. Kita memilih karena itu satu-satunya yang bisa kita lakukan di tengah segalanya ini. Seperti orang yang terjebak di tempat ini, kita berpegang pada sesuatu, meskipun tahu pegangan itu bisa rapuh.”
Suara dari pengeras suara di panggung mulai menggema. Salah satu calon berbicara tentang pembangunan infrastruktur, tentang menjadikan kota ini lebih modern, lebih maju, lebih terhubung dengan dunia luar. Tepuk tangan membahana di tengah orang-orang yang sudah lama menunggu janji semacam itu.
“Kau lihat itu?” ujar Maman. “Setiap lima tahun, kita berdiri di sini, mendengar kata-kata yang sama, janji yang sama. Tapi kota ini tak pernah benar-benar berubah.”
Rahmat tak menjawab, hanya kembali mengisap rokoknya. Di langit, matahari sudah mulai condong, tapi panasnya masih terasa menusuk kulit. Di sekitar alun-alun, tanah kering mulai berdebu saat angin kecil berhembus. Tidak ada laut di sini, tidak ada gedung pencakar langit yang membayangi, hanya lahan-lahan pertanian yang tersisa dan bangunan-bangunan yang setengah jadi.
Kampanye berlanjut, dengan janji-janji yang makin mengawang. Wajah-wajah di bawah panggung tampak mulai lelah, tapi mereka tetap tersenyum dan bertepuk tangan. Harapan mereka mungkin sudah berakar di tanah yang sama keringnya dengan lahan-lahan yang mereka garap.
“Jadi, siapa yang akan kau pilih kali ini, Man?” Rahmat akhirnya bertanya, dengan nada setengah bercanda.
Maman menatap jauh ke arah panggung, ke arah calon-calon pemimpin yang terus berbicara, seolah janji-janji mereka adalah satu-satunya jalan keluar dari kehidupan yang stagnan ini.
“Aku akan memilih,” katanya pelan, “tapi aku tahu, setelah semua ini selesai, kita akan kembali pada kehidupan yang sama. Ladang-ladang tetap kering, pembangunan tetap setengah jalan, dan janji-janji itu akan menguap begitu saja, seperti debu yang terbang di angin.”
Rahmat mengangguk, tak perlu banyak kata. Mereka berdua tahu, meskipun kampanye ini seolah menawarkan harapan baru, kota mereka akan tetap berjalan seperti biasa—pelan, kering, dan sunyi. Ketika malam tiba, janji-janji yang sempat terbang di udara hanya akan menyisakan kelelahan dan ketidakpastian. Mereka akan kembali ke rumah, membawa serta sedikit rasa puas, dan lebih banyak keraguan.
Dan seperti itulah hidup di kota ini. Di tempat di mana harapan tampak tak berjejak di tanah, Maman dan orang-orang seperti dia hanya bisa bertahan, sambil menunggu janji-janji itu terbang lagi di udara, pada lima tahun yang akan datang.
By: Salman