Advertisements
Nalar Aneh

SULIT-SULIT BENAR MENYADARKANMU !

Curious. Penasaran pada banyak hal. Mengenali apapun yang ada di sekitarnya. Bertanya berulang ulang. Mencoba, mencicipi, menyentuh bahkan memakai apa saja. Bayi dan anak anak mengikuti dorongan instink alamiah dan perintah otak.

Tak peduli bahaya. Di mata mereka kemenarikan benda, menutupi semua resiko. Menyamarkan celaka. Binar mata keingintahuan anak balita selalu berbenturan dengan nanar mata kekhawatiran orangtua. Beda sudut pandang, beda pengalaman.

Semua paham benda tajam, alat yang sangat bermanfaat. Ceritanya berbeda saat benda itu jatuh di tangan balita. Para ibu auto histeris. Bapak sigap merenggutnya. Sikap antisipatif. Belum terluka olehnya, jangan sampai terluka. Mereka khawatir berdasar pengalaman.

Di sisi balita, marah. Uring uringan. Ngamuk nangis bergulingan. Buat mereka, ini bentuk pelanggaran. Menggangu kesenangan. Merampas kebebasan. Entah untuk apa, mereka tentu punya rencana dengan benda itu. Pikir mereka, orangtua tak paham.

Dalam konteks yang lebih luas, kehidupan juga memiliki cerita yang sama. Antara Tuhan dan utusanNya di satu sisi, versus kita manusia biasa di sisi lain. Ada diskursus antara luasnya cara pandang Tuhan dan UtusanNya dengan sempitnya sudut kita.

Object pandangnya adalah harta dan tahta. Itu “pisau” yang kita perebutkan. Sesuatu yang semua orang sepakat kemanfaatannya. Untuk kehidupan. Tuhan menyediakan sumberdaya alam ini. Untuk mensupport peribadatan. Sayang, di tangan kita ceritanya berbeda.

Kemenarikannya kerap menyilaukan kita. Menyamarkan resiko bahaya di baliknya. Harta dan tahta kita buru dengan cara cara jauh dari kata mulia. Beradab pun tidak. Kita memakai hukum rimba. Rakus, tamak dan menghalalkan segala cara.

Harta dan tahta yang harusnya dipakai untuk menebar manfaat dan kebaikan, berubah jadi “pisau” penebar bahaya dan kengerian. Tak terhitung saling bunuh skala individu dipicu olehnya. Peperangan skala besar antar negara juga.

Seorang tega menggugat pidana dan perdata ibu kandungnya ke pengadilan. Menuntut materi warisan. Ada juga oknum agamawan yang menggadaikan prinsip iman demi kue kuasa. Terbukti, “pisau” harta kerap merusak otak dan nurani manusia.

Qorun. Dia murid Nabi Musa. Ada yang menyebut, dia masih sepupu sang nabi. Dekat dan termasuk jamaah. Imannya hebat tapi ekonomi pas pasan. Suatu hari minta Nabi Musa mendoakan agar diberi kekayaan melimpah. Agar tenang beribadah, kencang bersedekah.

Sebagai “orang tua”, nabi Musa tahu betul bahaya di balik ambisi tersebut. Beliau menyarankan bersyukur dengan apa yang ada. Qorun bergeming. Tak setuju pandangan Musa. Seperti “anak balita”, dia ngotot berjuang mendapatkan “pisau” sendiri.

Berhasil. Kerja keras dan ambisi besar terwujud. Kekayaan melimpah. Kunci gudang hartanya saja perlu 40 orang untuk mengangkatnya. Bisa dibayangkan sebesar apa gudangnya. Tak terbayangkan betapa banyak emas permat di dalamnya.

Situasi itu melambungkan statusnya. Melenakan pola pikirnya. “Semua milikku. Hasil kerja kerasku. Musa tak usah mengatur bagaimana aku menggunakannnya”, sergahnya pongah saat diingatkan untuk berzakat. Akhirnya, bumi menelan jasad dan seluruh hartanya.

Firaun. Dia ayah angkat Nabi Musa. Dari awal hidupnya penuh angkara. Kekejaman menjadi nafas kesehariannya. Penindasan pada rakyat, ciri sistem pemerintahnya. Tanpa pencitraan, dia terus terang. Ingin berkuasa selamanya. Bila perlu menggantikan Tuhan.

Advertisements

Berkali kali diperingatkan Tuhan, lewat mukjizat wakilNya, Musa. Para penyihir purbanya dikalahkan Musa. Ular ular kecilnya dimakan habis ular raksasa titanoboa-nya Musa. Sadarkah Firaun ? No way. Keras kepala sekeras ambisi nya berkuasa.

Tiba tiba seluruh air di negeri Mesir berubah jadi darah. Firaun memohon pada Musa menormalkannya. Berjanji akan beriman setelahnya. Dikabulkan. Aliran kembali berisi air. Berimankah Firaun? Never. Situasi new normal, tapi juga new stubborn.

Begitu terus. Wabah kodok. Serangan belalang. Semua bencana dan pertolongan hanya dijawab dengan janji janji. Tak ada yang ditepati. Keukeuh berkuasa sampai mati. Dan benar, angkara murkanya baru terhenti saat jasadnya terkubur di dasar laut merah.

Kita adalah anak balita. Yang merasa bisa menjadi seperti Dawud dan Sulaiman. Namun faktanya lebih sering berprilaku seperti Qorun dan Firaun. Selalu beda antara janji ambisi dengan bukti yang tersaji. Terbuai silau harta dan tahta, abai pada resiko bahaya.

Jadi birokrat janji akan beriman, disumpah dengan kitab suci. Malah korupsi, persekusi, kolusi dan menindas rakyat sendiri. Jadi pengusaha janji akan bersedekah dan rajin beribadah. Malah pelit, sombong dan menomorduakan agenda Tuhan.

Saat hartanya tak seberapa, masih mau bertegur sapa. Kuantitas aset bertambah, silaturrahmi mulai ogah. Awalnya masih rajin beribadah. Seiring meningkatnya kesibukan, sempit pula waktu. Ibadah mulai terburu buru. Ngaji tak sempat, alasan ini itu.

Kita selalu menjadi kerbau dungu. Terperosok di lubang yang sama. Berulang. Tak kunjung mampu mengambil pelajaran. Terus begitu sejak dulu sampai kini. Catatan sejarah menulis manusia dan bangsa hancur, sebab keliru melihat dan menggunakan “pisau” itu.

Seorang pengusaha otobis sukses. Harta melimpah. Tak kurang apa. Namun kilau hormat menggodanya. Nyalon bupati. Gagal. Harta habis, kena gangguan psikis. Dulur, kalau tak mampu mengelola, kenapa ngotot berkuasa. Hanya demi citra dan wibawa.

Anak kecil masih lebih baik dari kita. Meski awalnya ngotot, tapi mereka berhenti saat terluka. Mereka tak mengulangi main pisau lagi. Jikapun memegang, mulai berhati hati. Kita tidak. Meski sudah banyak “Qorun dan Firaun” modern yang berakhir derita.

Kitapun kerap uring uringan saat diingatkan para Rasul. Kita menganggap ajaran agama menghambat ambisi harta dan kuasa. Kita melabeli agama sebagai “terlalu cerewet” mengurusi kesibukan duniawi kita. Paling halus, modus. Paling kasar, ingkar.

Kita terus mengabdi pada harta dan tahta, membelakangi Tuhan dan sesama. Itulah kita. Angel, angel. Angel temen tuturanmu..! Sulit, sulit. Sulit benar menyadarkanmu. Mungkin begitu Tuhan dan RasulNya “membatin”. Melihat prilaku manusia. Rasul mengelus dada.

#JustSelfReminder

Advertisements
nalarmiring

Share
Published by
nalarmiring

Recent Posts

Partisipasi Pilkada Metro Menurun, Cerminan Apatisme Politik ?

Pilkada Kota Metro 2024 telah selesai dilaksanakan. Namun, data yang muncul meninggalkan sebuah catatan penting…

5 bulan ago

"Dinamika Organisasi" Dinamika organisasi merupakan salah satu aspek penting yang menentukan kelangsungan hidup dan perkembangan…

7 bulan ago

Debu Janji di Tengah Kampanye

Maman berdiri di pinggir alun-alun kecil, matanya memandang ke arah panggung di tengah yang dibangun…

7 bulan ago

Suara yang Sia-Sia

Hari itu terik. Matahari membakar genting-genting rumah di kota kecil yang sibuk dengan gemuruh politik.…

8 bulan ago

Harlah PMII 63, Refleksi Kader PMII dalam tantangan zaman

Harlah PMII 63, Refleksi Kader PMII dalam tantangan zaman Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). merupakan…

2 tahun ago

Konsep Dasar Menjadi Pemimpin Bijak ?

Kepemimpinan yang baik tercipta dari kepercayaan, sifat, karakter, dan nilai nilai yang baik, pada dasarnya…

2 tahun ago