Menjadi perempuan bukanlah hal yang mudah untuk dijalani, ketidakbebasan dalam pemenuhan peran yang seharusnya menjadi hak belum sepenuhnya diterima. Memperjuangkan hak perempuan merupakan perjuangan kesetaran gender yang seharusnya tidak hanya diperjuangkan oleh perempuan melainkan juga laki-laki. Kesetaraan yang dimaksud oleh perempuan adalah kesetaraan yang bisa menjadi bagian saling melengkapi “to complete” bukan bagian yang hadir menjadi persaingan “to compete”.
Ruang kebebasan bagi perempuan masih terbatas, ranah publik tidak dapat digapai oleh semua perempuan. Pemikiran yang kolot untuk menjadikan perempuan adalah pemilik kuasa atas ranah domestik masih banyak diyakini masyarakat hingga saat ini, masyarakat pedesaan ataupun pelosok. Perempuan masih tenggelam dalam menentukan arah hidupnya di masa akan datang, dimana mereka tidak diperbolehkan menjadi subjek keputusan terhadap dirinya sendiri melainkan menjadi objek keputusan. keputusan untuk dirinya masih ditentukan oleh orang lain, tak terkecuali orang-tua.
Dalam menjalankan perannya, perempuan masih memiliki ketidakmampuan merangkul segala hak dan kebebasannya. Hal ini dikarenakan kontruksi sosial yang terus mendudukan perempuan sebagai kaum lemah sehingga ia dianggap tidak mampu menahkodai perjalanan hidupnya. Keadaan seperti ini yang akhirnya melahirkan bahwa semua perempuan memiliki pengalaman sosial. Perempuan rentan mengalami ketidakadilan berbasis gender yakni diperlakukan tidak adil semata-mata karena menjadi perempuan. Adapun pengalaman sosial tersebut yaitu stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan dan beban ganda. Pengalaman sosial ini membuat perempuan dianggap tidak mampu menjadi peran utama dalam segala bidang di ruang publik.
Konteks yang sering kita jumpai misalnya pada perihal kepemimpinan dimana perempuan belum sepenuhnya diberikan akses untuk menjadi pemimpin terkecuali jika tidak ada laki-laki atau wadah yang hanya diikuti oleh perempuan. Kemudian pendidikan, perempuan masih banyak yang belum mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan laki-laki. Biasanya orang tua yang memiliki anak laki-laki dan perempuan akan membedakan pola asuhnya, jika laki-laki diprioritaskan untuk mengejar pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi namun apabila itu perempuan hanya sampai pendidikan menengah ke atas. Alasannya adalah laki-laki nanti akan menjadi pemimpin rumah tangga apabila sudah menikah yang mengharuskan mendapatkan upah besar untuk membiayai kehidupan keluarganya, sedangkan perempuan akan dibiayai oleh suaminya yang apabila tidak bekerja atau tidak mendapatkan upah maka tidak akan menjadi permasalahan di rumah tangga.
Perbedaan dalam memposisikan perempuan dan laki-laki tidak hanya ada di wilayah sosial tapi juga bisa terjadi pada wilayah keluarga, keadaan ini yang akhirnya menimbulkan pertanyaan dipikiran perempuan. Pada dasarnya apa yang membuat perempuan berbeda dengan laki-laki? kenapa kebebasan perempuan terbatas? kenapa perempuan tidak bisa mendapatkan hak sepenuhnya seperti laki-laki? Sederet pertanyaan yang mungkin akan lebih banyak lagi jika dikupas lebih mendalam padahal pada dasarnya perempuan dan laki-laki dalam Islam adalah sama.
Jika kita mengulik pada sejarah perempuan di masa jahiliyiah, ketika perempuan diperlakukan tidak manusiawi seperti mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang lahir. Kemudian diperlakukan sebagai barang dimana perempuan bisa diwariskan dan sebagai pelayan kepuasan nafsu belaka. Keadaan seperti ini terjadi ketika agama Islam belum datang sehingga ketika Islam datang kedudukan perempuan lambat laun terselamatkan. Islam mengajarkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Dalam buku Nalar Kritis Muslimah yang ditulis oleh Nyai Nur Rofiah menjelaskan pada abad ke tujuh Masehi, Islam menegaskan bahwa, Pertama perempuan adalah manusia. Kedua, setiap manusia hanyalah hamba Allah Swt. Ketiga, setiap manusia adalah khalifah fill ardh yang punya mandat mewujudkan kemasalahatan seluasnya di bumi. Hal ini juga sejalan dengan konsep Mubadalah bahwa Islam mengubah cara pandang dikotomis menjadi sinergis yang memegang 5 (lima ) prinsip ketahuidan yaitu 1) Perempuan tidak diciptakan dari laki-laki, 2) laki-laki dalam Islam bukan makhluk primer dan perempuan juga bukan makhluk sekuunder, keduanya adalah makhluk primer yang mengemban amanah sebagai khalifah dan sekunder di hadapan Allah sebagai makhluknya, 3) perempuan tidak mengabadikan diri pada laki-laki tapi hanya pada Allah Semata, 4) perempuan tidak tunduk mutlakn terhadap laki-laki tetapi bekerja sama dalam menjalankan perintah Allah, 5) kualitas perempuan dan laki-laki tidak tergantung pada jenis kelamin namun pada ketaqwaan.
Dari penjelasan diatas sudah dipastikan perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama sebagai makhuk Allah dan sebagai makhluk sosial. Adapun yang membedakan adalah ketaqwaan diantara keduanya, dimana takwa (Nalar Kritis Muslimah) adalah hubungan baik antara manusia dengan Allah Swt yang melahirkan hubungan baik dengan makhluk-Nya. Sehingga dalam prinsip ketaqwaan juga melahirkan bahwa sebagai manusia harus mampu memanusiaskan manusia lainnya, begitu juga dengan makhluk lainnya harus bisa untuk saling menjaga dan memperlakukan dengan baik. Dalam dunia sosial, manusia sebagai status nomor 2 hanyalah kontruksi sosial yang sudah tertanam pada budaya masyarakat dimana mereka masih meyakini bahwa pelaku utama dalam peran segala aspek adalah laki-laki padahal sebagai perempuan kita bisa mendapatkan aspek yang sama dengan laki-laki. Hal ini perlu adanya pemahaman dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan agar ketersalingan untuk saling melengkapi bisa dijalankan dengan baik dan tidak menimbulkan kesenjangan diantara keduanya.(Eka Mita Lestari)