Mbah Damin, Hidup Sebatang Kara Dirumah Sederhana

Hidup di usia senja dengan tubuh yang ringkih termakan usia, tentulah perkara yang sudah dilalui untuk dilalui. Selain kemampuan fisik yang telah menurun seiring bertambahnya usia, kondisi kesehatanpun harus dijaga agar tidak mudah terserang penyakit. Di sini, peran keluarga sangat besar untuk membantu mewujudkan semua hal tersebut.

Sayangnya, hal semacam itu tak bisa dinikmati dengan bebas oleh seorang kakek renta yang satu ini. Di pengujung usianya yang semakin redup, iya harus berjuang sendiri terombang-ambing kerasnya kehidupan.

Namanya Mbah Damin, salah seorang sesepuh di kelurahan kami. Beliau hidup sebatangkara di rumah yang sederhana. Di usianya yang tak lagi muda, tak menyurutkan langkahnya untuk bergerak demi sesuap nasi. Mbah Damin setiap malam hari berjualan bubur kacang hijau di lapangan kampus 15a kota Metro.

Bubur buatan beliau cita rasanya khas, kalau saya bilang terasa berbeda daripada umumnya. Tentu saja saya merupakan salah satu langganan beliau dalam urusan membeli bubur. Namun sudah beberapa bulan berlalu beliau tidak lagi terlihat berjualan, hingga menimbulkan beragam pertanyan di benak kami.

Sore tadi kami bersilaturahmi kerumah beliau yang beralamat di Jl. Terong no. 101 15a kelurahan Iringmulyo. Saat kami datang, terlihat Mbah Damin sedang mencabuti rumput dihalaman rumah, sambil tersenyum beliau lalu mempersilahkan kami untuk masuk kedalam rumahnya. Mbah damin bayak bercerita kepada tentang kehidupan nya.

Menurut penuturan yang disampaikan, beliau ini telah hidup sejak zaman penjajahan belanda dan sebenarnya Mbah Damin memiliki tiga orang anak yang tinggal jauh dari rumahnya, “anak saya ada tiga namun sudah tua juga dan tinggalnya jauh-jauh, kalau cucu ada namun bingung mau kesinini karena tidak ada yang mengantari/menunjukan jalan kesini, jadi ndak ada yang menengok mbahnya”. terkait kenapa tidak berjualan bubur ternyata dikarnakan sepi pembeli “iya mbah gak jualan karena sepi pembeli masih pandemi, kakinya juga sudah sakit-sakitan kalau asam urat sedang kambuh, ya semoga keadaan segera normal kembali segera ramai lagi”, ujar beliau.

Disela-sela pembicaraan Mbah Damin menuturkan “kalau bahasanya saya ini sudah nelen masin nya garam kehidupan kata orang-orang, ya gak apa-apa hidup sendiri sebatang kara adanya begini ya disyukuri”beliau berucap sembari tertawa lepas.

Kisah Mbah Damin yang hidup tegar meski sebatangkara, merefleksikan kembali fikiran kita sebagai pemuda bahwasan nya kita harus mensyukuri hidup dan pantang menyerah dalam situasi dan kondisi apapaun.
Meski ada banyak kisah seperti yang dialami Mbah Damin, kejadian ini menyadarkan kita kembali bahwa mereka yang telah dipenghujung kasih sayang, seharusnya mendapatkan perhatian. Kalau kita berfikir kembali terkait kedua orang tua kita yang sudah berusia lanjut, apakah kita sudah memberikan nya kasih sayang?
(Arfanie)
Advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *